Konsepsi Perancangan Peraturan Perundang-Undang Dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan

Kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional
Peraturan perundang-undangan adalah hukum tetapi hukum tidak identik dengan peraturan perundang-undangan. Bagaimanakah dan di manakah tempat peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum yang berlaku di suatu negara?
Negara Indonesia adalah negara hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum serta mendasarkan pula pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan sistem hukumnya adalah sistem hukum kontinental sebagai warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Sistem hokum kontinental  mengutamakan hukum tertulis
yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya.

Oleh karena itu, Indonesia berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis. Walaupun demikian, dalam prakteknya, kita juga mengenal adanya sistem hukum lain, yaitu hukum agama, hukum adat, dan juga diakuinya yurisprudensi serta kewenangan hakim untuk menemukan hukum.
Untuk mewujudkan pembentukan hukum tertulis, diperlukan tatanan yang tertib di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan pengundangannya.
Sebagai salah satu aspek dalam rangka pembangunan hukum nasional, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang sesuai dengan perkembangan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah berubah berdasarkan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Untuk mewujudkan ketentuan yang baku dan standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan sebagaimana juga diamanatkan oleh Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dengan undang-undang, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, maka berbagai ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang selama ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan yang berasal dari masa kolonial Belanda, yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan kita atau yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sebagai instrumen pengatur yang sah pada negara hukum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menjadi hukum positif yang harus ditaati dan menjadi pegangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh setiap lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang dimulai dari tingkat perencanaan, kemudian persiapan yang termasuk juga teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Pada tingkat perencanaan, dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, dikenal instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis yang disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sejak tanggal 13 Oktober 2005 telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Naskah Akademik
Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang , tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan suatu Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 angka 7 Perpres Nomor 68 Tahun 2005). Dalam Perpres tersebut perlu tidaknya Naskah Akademik merupakan pilihan bagi Pemerintah untuk menyiapkannya, sedangkan berdasarkan Tata Tertib DPR, penyiapan Naskah Akademik merupakan kewajiban dalam setiap penyusunan RUU. Secara tidak langsung kewajiban berdasarkan tata Tertib DPR tersebut berimbas kepada Pemerintah untuk juga menyiapkan Naskah Akademik. Jika Pemerintah tidak menyiapkan Naskah Akademik, maka suatu RUU yang diajukan tanpa Naskah Akademik tidak bisa untuk masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas.
Naskah Akademik dianggap penting sebagai landasan dalam penyusunan suatu RUU, hal ini sesuai dengan definisnya bahwa setidak-tidaknya suatu RUU dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsinya (berkaitan dengan latar belakang , tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturannya).
Naskah Akademik merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan. Makna yang sering dikemukakan bahwa dalam pertimbangan suatu RUU selalu dicantumkan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis mengingatkan bahwa betapa dasar atau landasan tersebut penting karena terkait dengan konstatasi fakta yang ada dan bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan melalui cara-cara yang mendasarkan pada filosofis dan yuridis.
Berdasarkan Naskah Akademik, maka fakta yang dianggap bermasalah dipecahkan bersama antara Pemerintah dan DPR (atau Pemda dan DPRD), tanpa memihak pada kepentingan golongan atau kepentingan individu. Jika Naskah Akademik yang dibuat mendasarkan pada urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup pengaturan, atau objek yang akan diatur, jangkauang serta arah pengaturan sesuai dengan yang dikehendaki masyarakat, maka proses bottom up sebagaimana yang selama ini diinginkan masyarakat akan terwujud.
Dengan demikian, Naskah Akademik sebagai naskah yang  harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang , tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan suatu Rancangan Undang-Undang, harus dibuat berdasarkan penelitian dan pengkajian terhadap suatu permasalahan dalam masyarakat yang memerlukan pemecahannya melalui undang-undang dengan menggunakan metodologi yang baik.
Perancangan Peraturan Perundang-undangan
Perancangan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu tahap dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan perancangan, seorang perancang atau pengambil kebijakan harus memperhatikan beberapa hal.
Agar suatu peraturan perundang-undangan ditaati secara spontan dan bukan dengan paksaan, suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai dasar berlaku yang baik. Biasanya ada tiga dasar agar suatu peraturan perundang-undangan mempunyai kekuatan berlaku yang baik, yaitu, mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis.[2]
Selain itu, untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, perlu diperhatikan berbagai asas (beginselen van behoorlijke regelgeving). Beberapa pendapat mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, antara lain, Van der Vlies dan Prof. Hamid S. Attamimi yang membedakan asas-asas tersebut antara asas formil dan asas materiil.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, asas formil yang dimaksud adalah asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a.         kejelasan tujuan;
b.         kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.         kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.         dapat dilaksanakan;
e.         kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.          kejelasan rumusan; dan
g.         keterbukaan.
Di samping asas-asas di atas, dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus diperhatikan mengenai materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Di dalam Pasal 6 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas :
a.   pengayoman;
b.   kemanusiaan;
c.   kebangsaan;
d.   kekeluargaan;
e.   kenusantaraan;
f.    bhinneka tunggal ika;
g.   keadilan;
h.   kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.    ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.    keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas-asas di atas, untuk peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, misalnya, materi muatan hukum pidana mengandung asas legalitas, tidak berlaku surut, tiada hukuman tanpa kesalahan, praduga tak bersalah, pembinaan terhadap narapidana. Sedangkan dalam hukum perdata, contohnya, syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan, adanya kebebasan dalam berkontrak, adanya itikad baik, dan adanya hal-hal tertentu.

Bentuk dan Jenis Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan kekuatan hukumnya sesuai dengan hierarki urutannya. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut, jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1.      UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      UU/Perpu;
3.      PP;
4.      Perpres;
5.      Perda.
Sedangkan jenis peraturan perundang-undangan lainnya diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam pembentukan peraturan, berlaku prinsip bahwa peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dapat menghapuskan atau mencabut peraturan yang sederajat atau yang lebih rendah.  Dalam hal peraturan yang sederajat bertentangan dengan peraturan sederajat lainnya (dalam arti sejenis), maka berlaku peraturan yang terbaru dan peraturan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori). Dalam hal peraturan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika peraturan yang mengatur hal yang merupakan kekhususan dari hal yang umum (dalam arti sejenis) yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan yang mengatur hal khusus tersebut (lex specialis derogat lex generalis). Pembentuk peraturan perlu bersepakat bahwa lex posterior derogat priori dan lex specialis derogat lex generalis didasarkan pada hal yang sejenis, dalam arti bahwa bidang hukum yang mengatur sumber daya alam, misalnya, tidak boleh mengesampingkan bidang hukum perpajakan. Yang dapat mengesampingkan bidang hukum perpajakan tersebut adalah bidang hukum perpajakan lainnya yang ditentukan kemudian dalam peraturan. Dengan demikian, pembentuk peraturan perundang-undangan (perancang) dituntut untuk selalu melakukan tugas pengharmonisan dan sinkronisasi dengan peraturan yang ada dan/atau terkait pada waktu menyusun peraturan.
Yang penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan adalah mengenai materi muatan peraturan. Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma peraturan harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas masing-masing (departemen terkait atau dinas terkait) yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetap pula memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya.
Pengetahuan mengenai bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan sangat penting dalam perancangan peraturan perundang-undangan karena :
1. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dapat ditunjukkan secara jelas peraturan  perundang-undangan tertentu yang menjadi landasan atau dasarnya;
2. Tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi yang dapat mendelegasikan ke peraturan perundang-undangan sederajat atau lebih rendah. Jadi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapa dijadikan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjukkan betapa pentingnya aturan mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan;
3.           pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih rendah. Prinsip ini mengandung beberapa hal :
a.       pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.
b.      dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang terbaru dan peraturan perundang-undangan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori);
c.       dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;
d.      dalam hal peraturan perundang-undangan sederajat yang mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang umum yang berkaitan dengan bidang khusus tersebut dikesampingkan (lex specialis derogat lex generalis).
4.      pentingnya pengetahuan mengenai bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan  kaitannya dengan materi muatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan undang-undang adalah berbeda dengan materi muatan peraturan presiden. Materi muatan biasanya tergantung dari delegasian atau atribusian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Undang-undang dan Perda bermateri muatan salah satunya adalah pengaturan hak asasi manusia dan pengaturan sanksi yang memberatkan atau membebani rakyat.
Hak dan Kewenangan Pengujian Undang-Undang
Untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan, berdasarkan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kekuasaan kehakiman selain dilakukan oleh Mahkamah Agung juga dikenal adanya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi.  Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (
judicial review). Dengan  kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicialreview tersebut, maka pembentuk peraturan perundang-undangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus memahami benar konsep pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari segi yuridis, sosiologis, maupun filosofisnya.

·         Kepala Subdit. Pembinaan dan Pengembangan Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM;
·         Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan yang difasilitasi oleh Pusdiklat SPIMNAS Bidang TMKP Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 28 Maret 2007.
·
[1] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta: 2002.
[2] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar